Di tengah minimnya kabar baik, berita soal komodo masuk sebagai salah
satu nomine 7 Keajaiban Dunia Baru oleh New 7 (Seven)
Wonders of Nature tentu membuat bahagia. Setidaknya, akan ada satu
lagi kekayaan Indonesia yang mendapat pengakuan dari dunia
internasional.
Maka, berbondong-bondonglah berbagai figur publik
menyerukan agar bangsa Indonesia menunjukkan nasionalismenya lewat
mendukung komodo. Caranya? Dengan mengirim SMS ke 9818. Awalnya, SMS
dukungan ini bernilai Rp 1000, sekarang, demi menggalakkan dukungan, SMS-nya hanya dikenai biaya Rp 1.
Pendukung
kampanye ini tidak main-main. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi duta resmi
pemenangan Pulau Komodo. Dari DPRD Manggarai Barat, sembilan hakim agung Mahkamah Konstitusi, MPR, berbagai pimpinan media massa dan pengusaha nasional,
selebritas semacam Fadli 'Padi' dan RAN, Slank, bahkan sampai Presiden SBY pun menyerukan dukungan.
Kerjasama
dengan empat provider telekomunikasi pun dilakukan demi
melancarkan pemilihan via SMS. Saking menggilanya jumlah kiriman SMS
untuk memenangkan Pulau Komodo, penyedia layanan SMS Mobilink pun sampai menaikkan kapasitas servernya.
Bisa dipastikan, menjelang masa berakhirnya masa pemilihan pada 11
November nanti, dukungan akan semakin meningkat.
Jusuf Kalla
memperkirakan, Pulau Komodo membutuhkan 30 juta suara untuk menang. Nah,
sudah berapa banyak dukungan yang diperoleh Pulau Komodo sampai
sekarang? Ketua Pendukung Pemenangan Komodo, aktivis lingkungan Emmy Hafild mengaku saat ini pendukung Komodo sudah
mencapai puluhan juta, meskipun tidak boleh disebutkan detail berapa
tepatnya voters yang mendukung Komodo.
Alasannya, "Peraturan
dari panitia penyelenggara The 7 Wonders melarang peserta memberikan
rincian voters karena kompetisi ini tidaklah menggunakan penghargaan
juara satu, dua dan tiga," Jelas Emmy Hafild kepada wartawan.
Maladewa
termasuk salah satu negara yang masuk dalam nomine 7 Keajaiban Dunia
Baru ini, tapi kemudian memutuskan mundur. Alasannya? Seperti tercantum dalam situs resmi pemasaran dan
hubungan masyarakat Maladewa, bahwa penyelenggara tidak transparan
dalam menjelaskan bagaimana cara mereka menghitung dukungan.
Itu
baru satu alasan. Yang lainnya adalah biaya-biaya tak terduga yang terus
meningkat jumlahnya. Mereka menyebut harus membayar sponsor platinum
mencapai $350 ribu; dua biaya sponsor emas dengan total $420 ribu,
mensponsori tur dunia dengan menerima kunjungan delegasi, menyediakan
perjalanan balon udara, penerbangan, akomodasi, kunjungan wartawan;
biaya $1 juta dolar bagi penyedia layanan telepon untuk berpartisipasi
dalam kampanye New7Wonders; dan $1 juta lagi agar maskapai Maladewa bisa
menempelkan logo New7Wonders di pesawat-pesawat mereka.
Biaya-biaya
ini sangat besar hanya demi sebuah predikat 'ajaib'. Toh selama ini
reputasi komodo sebagai tujuan wisata dunia juga sudah diakui.
Selain
itu, bukankah biaya jutaan dollar itu bisa lebih baik digunakan untuk
sebuah kampanye wisata Indonesia yang terencana (semacam Malaysia dengan
Truly Asia-nya atau Thailand lewat Amazing Thailand-nya) daripada demi
membayar biaya-biaya lisensi pada sebuah perusahaan yang tidak jelas
reputasinya?
Yang perlu diingat lagi, bahwa lembaga New7Wonders
yang mengadakan kompetisi ini sama sekali tidak terhubung dengan lembaga
UNESCO di bawah PBB.
UNESCO sudah lebih dulu menetapkan Taman
Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia pada 1986.
Bahkan,
UNESCO sampai mengeluarkan pernyataan tersendiri demi menegaskan bahwa
apa yang mereka lakukan dengan penetapan Situs-Situs Warisan Dunia
sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh New7Wonders.
Sejak 2007, UNESCO menyatakan bahwa
mereka sudah berkali-kali diajak bekerjasama oleh organisasi milik
Bernard Weber ini, tapi mereka memilih untuk tidak berpartisipasi.
Lembaga PBB biasanya menggunakan bahasa-bahasa yang diplomatis.
Maka
ketika UNESCO mengatakan, "tidak ada yang bisa dibandingkan antara
kampanye media yang dilakukan Tuan Weber dengan pekerjaan ilmiah dan
proses pendidikan yang kami lakukan di UNESCO sehingga menghasilkan
daftar situs-situs Warisan Dunia," itu artinya mereka sedang memberi
peringatan keras akan cara kerja lembaga ini.
Lalu, kenapa kita
masih ngotot memenangkan komodo dalam kompetisi yang tidak jelas cara
penjuriannya ini? Yang jika kita menang pun, kita masih harus membayar
biaya-biaya tinggi demi meraih pengakuan internasional?
Sebegitu
hauskah kita akan pengakuan internasional dari lembaga yang reputasinya
tidak jelas? Apa yang menurut Anda membuat berbagai figur publik seolah
terbutakan akan fakta-fakta yang tersedia dan secara membuta mendukung
komodo?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar